Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno Pramono, tegas membantah laporan PBB yang menempatkan Jakarta sebagai kota terpadat dunia dengan 42 juta penduduk.

Menurutnya, data PBB gabungkan wilayah Jabodetabek dan proyeksi urbanisasi, bukan sensus resmi BPS yang mencatat 11 juta penduduk. Pramono dorong klarifikasi agar data global tak menyesatkan, sambil perkuat narasi Jakarta modern. Simak kejadain di Jakarta terbaru yang akan di bahas di bawah ini yang hanya ada di Info Kejadian Jakarta.
Pramono Tegaskan Laporan PBB Jakarta Salah
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno Pramono, secara tegas membantah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menempatkan Jakarta sebagai kota terpadat di dunia dengan 42 juta penduduk pada 2025. Menurut Pramono, klaim dalam World Urbanization Prospects 2025 itu keliru karena menggabungkan.
Laporan PBB dirilis 23 November 2025 oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial, menyebut Jakarta unggul atas Dhaka (37 juta) dan Tokyo (33,4 juta), dengan 9 dari 10 kota terpadat di Asia. Pramono menegaskan data PBB berbasis “Degree of Urbanization” yang hitung aktivitas harian dan proyeksi, bukan sensus resmi NIK BPS.
Pemprov DKI tekankan Jakarta sebenarnya peringkat 30 secara administratif, bukan nomor satu, untuk hindari stigma negatif bagi ibu kota yang sedang transisi ke IKN. Isu ini jadi pelajaran penting soal akurasi data global dalam konteks lokal Indonesia.
Jejak Kontroversi Laporan PBB
Laporan World Urbanization Prospects 2025 ungkap urbanisasi global capai 45% populasi dunia (8,2 miliar jiwa), dengan 33 megakota (>10 juta penduduk), 19 di Asia. Jakarta disebut teratas 41,9-42 juta jiwa, proyeksi naik dari Tokyo yang turun populasi. Data ini prediksi hingga 2050, di mana Dhaka salip Jakarta, sementara Shanghai naik ke posisi tiga.
Pada 1 Desember 2025, CNN Indonesia soroti laporan itu, picu reaksi cepat Pramono yang sebut “salah” karena metodologi PBB gabung Jabodetabek plus hingga Karawang. Chico dari Pemprov klarifikasi: angka PBB bukan penduduk tetap, tapi mobilitas harian commuter. Media seperti Antara dan AA.com.
Kontroversi ini ungkap perbedaan definisi: PBB pakai “urban agglomeration”, sementara BPS hitung administratif. Pramono dorong klarifikasi ke PBB agar data tak misleading.
Baca Juga: Kebakaran di RSU Pemasyarakatan Cipinang, Kerugian Capai Rp500 Juta
Laporan PBB Tidak Mencerminkan Jakarta

Pramono jelaskan BPS catat penduduk DKI 11,07 juta (2024), bukan 42 juta yang klaim PBB gabung wilayah Bodetabek. “Itu metropolitan, bukan Jakarta kota,” tegasnya, hindari image overcrowded saat transisi IKN 2028. Wagub sebut data PBB prediksi urbanisasi.
Metrotvnews catat Pramono Jakarta nomor 30 sebenarnya,” berdasarkan luas administratif 662 km² vs metropolitan 7.000 km². Ini kritik metodologi PBB yang abaikan batas provinsi, picu perdebatan soal akurasi global vs lokal. Pramono khawatir stigma hambat investasi dan pariwisata Jakarta.
Bantahan ini strategis: Pemprov rencana kampanye data benar via BPS, kolaborasi PBB untuk revisi definisi. Langkah ini perkuat narasi Jakarta modern, bukan sekadar kota padat.
Dampak dan Respons Pemerintah Pasca Bantahan
Bantahan Pramono redam kekhawatiran warga soal kemacetan ekstrem, dorong fokus program depopulasi via IKN dan MRT. Media sosial ramai dukung: “Benar, Jakarta nggak seseram itu!” sementara kritikus minta transparansi data BPS. Pemerintah pusat instruksikan verifikasi, cegah mispersepsi global.
Ke depan, DKI tingkatkan sensus digital real-time untuk lawan proyeksi PBB. Pramono ajak publik pantau BPS resmi, bukan headline sensasional, sambil percepat infrastruktur hijau. Isu ini jadi momentum reformasi data urban Indonesia.
Dengan IKN rampung 2028 ($32 miliar), Jakarta bisa alihkan beban populasi. Bantahan Pramono sukses geser narasi negatif jadi diskusi produktif urbanisasi berkelanjutan.
Simak berita update lainnya tentang Jakarta dan sekitarnya secara lengkap tentunya terpercaya hanya di Info Kejadian Jakarta.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari travel.detik.com
- Gambar Kedua dari www.tvonenews.com